Menu

28 September 2013

Cara Mengelola hasil Panen

Tingkat kesuburan sebagian besar lahan di Indonesia tergolong tinggi. Dengan pangsa pasar dunia untuk hasil hortikultura yang terus meningkat sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk melipatgandakan produksi dan mutu buah-buahan, sayur-sayuran, dan bunga-bungaan. Namun, hasil panen lahan pertanian itu ternyata tidak memberi pendapatan yang tinggi bagi para petani. Salah satu sebabnya adalah cara pengelolaan pascapanen yang kurang baik. 



Padahal pengelolaan pascapanen bisa menyangkut banyak hal antara lain mengurangi susut
selama proses penanganan pasca- panen, menjaga kualitas produk tetap baik selama dalam penyimpanan dan pengangkutannya ke pasar, serta dalam memilah hasil agar sesuai kriteria mutu yang diinginkan. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh pada harga dan hasil penjualannya.
Oleh karena itu, peranan teknik pertanian dalam bidang panen dan pascapanen hasil hortikultura di masa depan adalah mengurangi susut dan meningkatkan efisiensi proses, mutu, menduga masa simpan akibat dampak lingkungan, merancang kemasan untuk pengangkutan, memilih film kemasan, mengendalikan lingkungan penyimpanan, menerapkan kontrol otomatik, dan merancang alat dan mesin dari yang sederhana sampai sistem robotik.
Berbagai alat pengolahan hasil panen kemudian dikembangkan. Dalam bidang holtikultura misalnya, alat dan mesin yang diproduksi meliputi tangki baja tahan karat, alat sterilisasi, mesin pengering, alat goreng hampa, mesin pemisah pulp markissa, dan mesin pemisah kulit buah. 
Penerapan teknik modern dalam pertanian terbukti dapat mengurangi susut dan meningkatkan efisiensi proses. Penelitian buah-buahan yang didanai ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) di ASEAN dan Australia, menunjukkan penyimpanan dengan atmosfir terkendali (Controlled Atmosphere Storage, CAS), pelapisan film dapat dimakan (edible coating), dan perbaikan sistem teknologi pascapanen dapat menurunkan susut pascapanen. 
Hasil pengkajiannya, seperti diuraikan Hadi K Purwadaria guru besar pada Ilmu Mekanisasi Pertanian IPB, menyebutkan susut pascapanen mangga dengan CAS turun dari 9,2 persen menjadi 7,8 persen. Sedangkan dengan pelapisan film menurunkan susut alpokat dari 30 persen menjadi 15 persen. 
Sementara itu Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP)- IPB telah merancang alat pengering yang dapat digunakan untuk melayukan bawang putih dan mengeringkan cabai merah. Alat pengering ini adalah tipe konveksi panas bebas yang menggunakan kompor tekan minyak tanah. Lahan petani bawang putih di Tawangmangu dan Magelang, Jawa Tengah, telah menggunakan alat ini.
Pada percobaan tahun 1993, Hadi membuktikan cara pelayuan bawang putih dengan alat ini dapat memperpendek proses tersebut dari 40 hari dengan cara tradisional yaitu pengasapan dan penganginan menjadi 13 hari. Dengan cara baru rendemen hasil pelayuannya 68,3 persen dan biaya operasinya adalah Rp 199,8 per kg bawang putih kering. 
Dengan prinsip yang sama, dirancang pula alat pengering cabai merah untuk mengatasi masalah pemucatan warna cabai akibat penjemuran yang berkisar 5-10 persen dari setiap 100 ton cabai segar, yang dialami pengusaha cabai kering di Blora, Jawa Tengah. Dengan alat ini efisiensi pemanasan dan pengeringan dapat mencapai masing-masing 58,18 persen dan 20,35 persen

***

Sementara itu bagi konsumen dalam memutuskan untuk membeli, perubahan mutu hasil hortikultura seperti warna, kekerasan, aroma dan citarasa merupakan faktor kritis. Lamanya masa simpan setelah panen dan pengolahan dalam rantai tataniaga yang panjang sebelum tiba di tangan konsumen merupakan hal yang mempengaruhi itu. Beberapa faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pascapanen antara lain adalah pengangkutan dan pemasaran. 

Karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah memperhitungkan umur simpan yang optimal untuk produk hasil hortikultura tersebut. Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan simulasi komputer yang disusun dari model matematika.
Dengan mencari secara matematik hubungan antara umur petik dengan ukuran, perubahan warna, kekerasan dan susut bobot tomat, Hadi berhasil menetapkan bahwa tomat sebaiknya dipetik pada umur 22 hari. Pada saat itu tomat tidak membesar lagi dan dapat bertahan selama 58 hari dalam kemasan atmosfir termodifikasi (MAP) dengan stretch film pada suhu 150 derajat Celsius. 
Selain itu telah dibuat program simulasi komputer untuk meramalkan masa simpan jeruk yang mengalami perubahan lingkungan dan pergantian jenis kendaraan selama pengangkutan. Diketahui fluktuasi suhu lingkungan terhadap jeruk siem selama pengangkutan, yaitu 6 hari pada 15oC, 5 hari pada 10oC, 2 hari pada 30oC, 3 hari pada 10oC dan 3 hari pada 150oC menyebabkan masa simpan di mata rantai eceran tinggal 13 hari pada suhu ruang (30oC).
Perancangan kemasan dalam pengangkutan bermanfaat pula untuk meredam goncangan dalam perjalanan. Pengemasan atmosfir termodifikasi (MAP) dilakukan pada pengemasan eceran di pasar swalayan untuk buah-buahan dan sayuran tanpa memperhatikan jenis film kemasan yang dipakai. Padahal, jenis film kemasan yang tidak tepat akan mengakibatkan pemendekan masa simpan karena komposisi atmosfir di dalam kemasan berubah akibat daya permeabilitas film kemasan yang berbeda-beda.
IPB telah mengembangkan metode untuk menentukan jenis kemasan film MAP (Modified Atmosphere Packaging) bagi masing-masing jenis komoditas buah-buahan, sayuran, dan bunga-bungaan. Hasil penelitian ini telah dipakai secara komersial oleh Tenant Inkubator Agrobisnis dan Agroindustri, IPB.
Penyimpanan dengan atmosfir terkendali (Controlled Atmosphere Storage, CAS) telah lama diterapkan secara komersial di negara subtropika misalnya untuk apel dan kubis sehingga dapat diekspor sepanjang tahun. Laboratorium TPPHP-IPB telah mengkaji kemungkinan penerapan CAS untuk durian melalui program Riset Unggulan Terpadu IV. Hasil awal menunjukkan durian yang disimpan dalam komposisi 5 persen O2 dan 5 persen CO2 pada suhu 5oC bertahan selama 45 hari.

***

Seperti diketahui Indone-sia hingga saat ini belum mampu meningkatkan volume ekspor buah-buahan karena masih sulit memenuhi persyaratan mutu yang diminta negara tujuan ekspor. Masalahnya karena selama ini sortasi atau pemilahan dilakukan secara visual dan manual. 

”Sortasi visual tidak dapat memisahkan buah-buahan dengan rasa manis dari buah-buahan yang asam. Padahal konsumen di negara maju, Jepang misalnya, berani membayar mahal untuk buah-buahan tropis yang dianggap eksotik asalkan bermutu prima,” urai Hadi. 
Karena itu menurutnya, sortasi buah-buahan untuk memilih mutu yang memenuhi standar ekspor merupakan penanganan yang harus dilaku-kan. Hadi dan beberapa rekannya kemudian merekayasa alat sortasi buah-buahan secara tepat, akurat dan nondestruktif berdasarkan warna, ukuran, berat, dan cita rasa. 
Alat sortasi tersebut merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas sistem elektro-optika sebagai sensor, ban berjalan, sistem komputerisasi dan unit pemisah mekanik. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu, penentuan jenis dan sifat karakteristik buah tropis untuk komoditas subyek penelitian, pengembangan sistem elektro-optika dan perancangan prototype alat sortasi mutu buah, dan penyempurnaan on-line system serta pengujian prototype alat sortasi.


sumber referensi: http://enrico-enrico73.blogspot.com

No comments:

Post a Comment