Tingkat
kesuburan sebagian besar lahan di Indonesia tergolong tinggi. Dengan
pangsa pasar dunia untuk hasil hortikultura yang terus meningkat
sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk melipatgandakan
produksi dan mutu buah-buahan, sayur-sayuran, dan bunga-bungaan. Namun,
hasil panen lahan pertanian itu ternyata tidak memberi pendapatan yang
tinggi bagi para petani. Salah satu sebabnya adalah cara pengelolaan
pascapanen yang kurang baik.
Padahal
pengelolaan pascapanen bisa menyangkut banyak hal antara lain
mengurangi susut
selama proses penanganan pasca- panen, menjaga kualitas produk tetap baik selama dalam penyimpanan dan pengangkutannya ke pasar, serta dalam memilah hasil agar sesuai kriteria mutu yang diinginkan. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh pada harga dan hasil penjualannya.
selama proses penanganan pasca- panen, menjaga kualitas produk tetap baik selama dalam penyimpanan dan pengangkutannya ke pasar, serta dalam memilah hasil agar sesuai kriteria mutu yang diinginkan. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh pada harga dan hasil penjualannya.
Oleh
karena itu, peranan teknik pertanian dalam bidang panen dan pascapanen
hasil hortikultura di masa depan adalah mengurangi susut dan
meningkatkan efisiensi proses, mutu, menduga masa simpan akibat dampak
lingkungan, merancang kemasan untuk pengangkutan, memilih film kemasan,
mengendalikan lingkungan penyimpanan, menerapkan kontrol otomatik, dan
merancang alat dan mesin dari yang sederhana sampai sistem robotik.
Berbagai
alat pengolahan hasil panen kemudian dikembangkan. Dalam bidang
holtikultura misalnya, alat dan mesin yang diproduksi meliputi tangki
baja tahan karat, alat sterilisasi, mesin pengering, alat goreng hampa,
mesin pemisah pulp markissa, dan mesin pemisah kulit buah.
Penerapan
teknik modern dalam pertanian terbukti dapat mengurangi susut dan
meningkatkan efisiensi proses. Penelitian buah-buahan yang didanai ACIAR
(Australian Centre for International Agricultural Research) di ASEAN dan Australia, menunjukkan penyimpanan dengan atmosfir terkendali (Controlled Atmosphere Storage, CAS), pelapisan film dapat dimakan (edible coating), dan perbaikan sistem teknologi pascapanen dapat menurunkan susut pascapanen.
Hasil
pengkajiannya, seperti diuraikan Hadi K Purwadaria guru besar pada Ilmu
Mekanisasi Pertanian IPB, menyebutkan susut pascapanen mangga dengan
CAS turun dari 9,2 persen menjadi 7,8 persen. Sedangkan dengan pelapisan
film menurunkan susut alpokat dari 30 persen menjadi 15 persen.
Sementara
itu Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP)-
IPB telah merancang alat pengering yang dapat digunakan untuk melayukan
bawang putih dan mengeringkan cabai merah. Alat pengering ini adalah
tipe konveksi panas bebas yang menggunakan kompor tekan minyak tanah.
Lahan petani bawang putih di Tawangmangu dan Magelang, Jawa Tengah,
telah menggunakan alat ini.
Pada
percobaan tahun 1993, Hadi membuktikan cara pelayuan bawang putih
dengan alat ini dapat memperpendek proses tersebut dari 40 hari dengan
cara tradisional yaitu pengasapan dan penganginan menjadi 13 hari.
Dengan cara baru rendemen hasil pelayuannya 68,3 persen dan biaya
operasinya adalah Rp 199,8 per kg bawang putih kering.
Dengan
prinsip yang sama, dirancang pula alat pengering cabai merah untuk
mengatasi masalah pemucatan warna cabai akibat penjemuran yang berkisar
5-10 persen dari setiap 100 ton cabai segar, yang dialami pengusaha
cabai kering di Blora, Jawa Tengah. Dengan alat ini efisiensi pemanasan
dan pengeringan dapat mencapai masing-masing 58,18 persen dan 20,35
persen
***
Sementara
itu bagi konsumen dalam memutuskan untuk membeli, perubahan mutu hasil
hortikultura seperti warna, kekerasan, aroma dan citarasa merupakan
faktor kritis. Lamanya masa simpan setelah panen dan pengolahan dalam
rantai tataniaga yang panjang sebelum tiba di tangan konsumen merupakan
hal yang mempengaruhi itu. Beberapa faktor yang mempengaruhi umur simpan
produk pascapanen antara lain adalah pengangkutan dan pemasaran.
Karena
itu, upaya yang perlu dilakukan adalah memperhitungkan umur simpan yang
optimal untuk produk hasil hortikultura tersebut. Pendugaan umur simpan
dapat dilakukan dengan simulasi komputer yang disusun dari model
matematika.
Dengan
mencari secara matematik hubungan antara umur petik dengan ukuran,
perubahan warna, kekerasan dan susut bobot tomat, Hadi berhasil
menetapkan bahwa tomat sebaiknya dipetik pada umur 22 hari. Pada saat
itu tomat tidak membesar lagi dan dapat bertahan selama 58 hari dalam
kemasan atmosfir termodifikasi (MAP) dengan stretch film pada suhu 150 derajat Celsius.
Selain
itu telah dibuat program simulasi komputer untuk meramalkan masa simpan
jeruk yang mengalami perubahan lingkungan dan pergantian jenis
kendaraan selama pengangkutan. Diketahui fluktuasi suhu lingkungan
terhadap jeruk siem selama pengangkutan, yaitu 6 hari pada 15oC, 5 hari pada 10oC, 2 hari pada 30oC, 3 hari pada 10oC dan 3 hari pada 150oC menyebabkan masa simpan di mata rantai eceran tinggal 13 hari pada suhu ruang (30oC).
Perancangan
kemasan dalam pengangkutan bermanfaat pula untuk meredam goncangan
dalam perjalanan. Pengemasan atmosfir termodifikasi (MAP) dilakukan pada
pengemasan eceran di pasar swalayan untuk buah-buahan dan sayuran tanpa
memperhatikan jenis film kemasan yang dipakai. Padahal, jenis film
kemasan yang tidak tepat akan mengakibatkan pemendekan masa simpan
karena komposisi atmosfir di dalam kemasan berubah akibat daya
permeabilitas film kemasan yang berbeda-beda.
IPB telah mengembangkan metode untuk menentukan jenis kemasan film MAP (Modified Atmosphere Packaging)
bagi masing-masing jenis komoditas buah-buahan, sayuran, dan
bunga-bungaan. Hasil penelitian ini telah dipakai secara komersial oleh
Tenant Inkubator Agrobisnis dan Agroindustri, IPB.
Penyimpanan dengan atmosfir terkendali (Controlled Atmosphere Storage,
CAS) telah lama diterapkan secara komersial di negara subtropika
misalnya untuk apel dan kubis sehingga dapat diekspor sepanjang tahun.
Laboratorium TPPHP-IPB telah mengkaji kemungkinan penerapan CAS untuk
durian melalui program Riset Unggulan Terpadu IV. Hasil awal menunjukkan
durian yang disimpan dalam komposisi 5 persen O2 dan 5 persen CO2 pada suhu 5oC bertahan selama 45 hari.
***
Seperti
diketahui Indone-sia hingga saat ini belum mampu meningkatkan volume
ekspor buah-buahan karena masih sulit memenuhi persyaratan mutu yang
diminta negara tujuan ekspor. Masalahnya karena selama ini sortasi atau
pemilahan dilakukan secara visual dan manual.
”Sortasi
visual tidak dapat memisahkan buah-buahan dengan rasa manis dari
buah-buahan yang asam. Padahal konsumen di negara maju, Jepang misalnya,
berani membayar mahal untuk buah-buahan tropis yang dianggap eksotik
asalkan bermutu prima,” urai Hadi.
Karena
itu menurutnya, sortasi buah-buahan untuk memilih mutu yang memenuhi
standar ekspor merupakan penanganan yang harus dilaku-kan. Hadi dan
beberapa rekannya kemudian merekayasa alat sortasi buah-buahan secara
tepat, akurat dan nondestruktif berdasarkan warna, ukuran, berat, dan
cita rasa.
Alat
sortasi tersebut merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas
sistem elektro-optika sebagai sensor, ban berjalan, sistem komputerisasi
dan unit pemisah mekanik. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu,
penentuan jenis dan sifat karakteristik buah tropis untuk komoditas
subyek penelitian, pengembangan sistem elektro-optika dan perancangan
prototype alat sortasi mutu buah, dan penyempurnaan on-line system serta pengujian prototype alat sortasi.
sumber referensi: http://enrico-enrico73.blogspot.com
No comments:
Post a Comment